Breaking News



Tita Sabita: Langit di Atas Kertas

Tampil di Kelas Membacakan Cerita

BIOGRAFI, karyamadrasah.com –Namaku Tita Tsabita. Tapi orang-orang cukup memanggilku Tita. Jika kau ingin tahu siapa aku, cukup ikuti jejak-jejak kecil yang kutinggalkan dalam bentuk gambar langit malam—penuh bintang, tenang, dan penuh harap.

Aku lahir di Kota Padangpanjang, 5 November 2009. Bukan hari istimewa menurut kalender nasional, tapi sangat istimewa bagi dua orang: Papa dan Bunda. Papa seorang sales mobil yang selalu pulang dengan cerita-cerita lucu dari jalanan, sedangkan Bunda adalah apoteker yang wajahnya sejuk seperti aroma daun mint di ruang praktik rumah sakit.

Aku si bungsu, punya abang bernama Fadhlan Habibi yang suka membuatku tertawa dengan tingkah anehnya. Keluargaku sederhana, tapi penuh cinta. Papa rajin ke masjid, dan dari beliaulah aku belajar bahwa hidup bukan hanya soal pencapaian, tapi juga bagaimana tetap bersujud kepada Allah SWT dalam kesibukan.

Sejak kecil, aku suka menggambar. Langit malam jadi teman terbaikku—tenang dan luas, seperti impianku yang ingin kurajut setinggi bintang. Aku ingin jadi arsitek. Rasanya keren membayangkan suatu hari nanti aku menggambar bangunan impian, dan orang-orang tinggal di sana, merasa aman dan bahagia.

Perjalanan hidupku dimulai di TK Islam Jihad. Aku masih ingat saat lomba menggambar, tangan mungilku gemetar, tapi pulang membawa juara dua tingkat kota. Di TK juga aku berkenalan dengan puisi dan huruf-huruf hijaiyah yang kemudian membawaku lancar membaca Al-Quran. Alhamdulillah.

Setelah itu aku masuk MISREY, madrasah tempat aku mengenal banyak hal: kemah di Pagaruyung, Polisi Cilik, dan rasa percaya diri yang mulai tumbuh perlahan. Di sana aku belajar bahwa menjadi berbeda itu bukan aib, tapi anugerah. Keren.

MTsN Padangpanjang jadi rumahku berikutnya. Aku ikut lomba batik biru, bergabung dengan randai dan marching band. Teman-temanku datang dari berbagai latar, dan kami semua punya cerita masing-masing. Tapi mimpiku tetap sama—menjadi arsitek. Haqqul Yaqin.

Setelah tamat nanti, aku ingin lanjut ke SMAN 1 Padangpanjang, lalu ke Universitas Indonesia jurusan Arsitektur. Aku membayangkan usia 22 tahun aku memakai toga, menggenggam ijazah cumlaude, dan melihat Papa dan Bunda tersenyum di bangku tamu, menahan haru.

Lalu aku ingin bekerja di Bappeda. Aku ingin jadi bagian dari perancang masa depan daerahku, menyusun kota, menyulam mimpi masyarakat menjadi kenyataan. Aku ingin membangun rumahku sendiri di usia 26 tahun. Di dalamnya ada ruang seni, ruang untuk kembali kepada siapa diriku sebenarnya—Tita si pelukis langit malam.

Aku ingin punya keluarga yang sederhana tapi bahagia. Menikah di usia 25 dengan laki-laki yang membimbingku ke surga, punya tiga anak yang kubesarkan bersama suami yang penuh pengertian. Aku ingin anak-anakku tahu bahwa mimpi bisa diwujudkan asal mereka punya tekad dan keikhlasan.

Suatu saat, aku ingin mengajak keluargaku dan orangtuaku naik haji bila mampu. Aku ingin memeluk Ka’bah sambil menangis, menceritakan semua harapan dan rasa syukur yang tak sempat kukatakan di dunia.

Di usiaku yang terus bertambah, aku ingin tetap memberi. Bersedekah tiap Jumat, menyumbang untuk panti, membangun tempat bagi para pelukis agar mereka bisa hidup dari karya. Karena aku tahu, dalam harta dan waktu kita, ada bagian milik orang lain.

Bila saatnya tiba, aku harus pergi, aku ingin pergi dalam husnul khatimah. Meninggal di hari Jumat, sehabis shalat, setelah membaca ayat kursi. Karena aku percaya, hidup adalah lukisan yang indah bila kita melukisnya dengan iman, cinta, dan harapan.

Langit malam masih tetap jadi inspirasiku. Mungkin suatu hari nanti, seseorang akan melihat lukisan langitku dan tersenyum, seperti aku dulu memandang ke atas dan berkata dalam hati, “Aku akan sampai ke sana.” (9J/Y/*

Posting Komentar

0 Komentar