Breaking News



Hati yang Lapang: Aku Ingin Belajar Memaafkan

Hati yang Lapang

Jam pelajaran ketiga baru saja dimulai. Kelas VIII B yang semula riuh dengan obrolan pelajar mulai tenang ketika Bu Rani masuk. Ia guru agama yang disegani di sekolah itu. Ia disegani bukan karena galak, tapi karena tutur katanya selalu lembut dan mengena. Ia berdiri di depan kelas sambil membuka catatan, tapi matanya langsung menangkap dua anak yang duduk saling membelakangi.

"Rafkii, Rianda, ke sini sebentar," ujar Bu Rani tenang.

Keduanya maju dengan wajah kaku, mata saling menghindar.

"Ada apa dengan kalian?" tanya Bu Rani.

Sebelum Rafki menjawab, Rianda sudah lebih dulu bersuara. "Bu, dia yang mulai duluan, ngejek saya terus-terusan. Saya sabar, Bu. Tapi hari ini dia kelewatan!"

"Enggak Bu, dia duluan yang nulis nama saya di papan pelanggaran, padahal saya enggak ngelakuin apa-apa!" sergah Rafki.

Bu Rani menghela napas. "Kalian tahu, ini bukan pertama kalinya kalian seperti ini. Apa kalian betul-betul ingin terus bertengkar? Mau saya keluarkan dari kelas dan bicara di ruang BK?"

Keduanya diam, kepala tertunduk. Siswa lain menahan napas. Situasi seperti ini bukan pertama kali terjadi, tapi kali ini Bu Rani tampak tidak sedang ingin marah. Ia justru berjalan ke kursinya, lalu duduk dan menatap mereka dalam.

"Kembali ke bangku masing-masing. Hari ini kita tidak langsung belajar materi. Saya ingin bercerita sesuatu," katanya.

Suasana kelas mendadak hening. Semua menunggu.

Bu Rani membuka ceritanya dengan suara pelan namun mantap.

"Pada zaman Rasulullah dahulu, ada sebuah kejadian yang luar biasa. Suatu hari Rasulullah sedang duduk bersama para sahabat. Tiba-tiba beliau berkata, 'Akan datang kepada kalian seorang lelaki penghuni surga.'

Tak lama kemudian datang seorang lelaki dari kaum Anshar, wajahnya tenang, janggutnya masih basah oleh air wudhu, dan ia membawa sandalnya di tangan. Semua yang hadir terkejut. Apa istimewanya lelaki ini?

Hari kedua, Rasulullah mengatakan hal yang sama. Orang yang datang... ya, masih lelaki yang sama, beliau berkata, 'Akan datang kepada kalian seorang lelaki penghuni surga.'

Hari ketiga, kejadian itu terulang. Rasulullah kembali bersabda, dan lelaki yang datang tetap sama, beliau berkata, 'Akan datang kepada kalian seorang lelaki penghuni surga.'

Salah satu sahabat yang bernama Abdullah bin Amr bin Ash menjadi penasaran. Ia ingin tahu, apa amalan lelaki itu sampai-sampai Rasulullah menyebutnya sebagai penghuni surga... tiga hari berturut-turut!

Akhirnya Abdullah meminta izin menginap di rumah lelaki itu selama tiga hari. Ia memperhatikan semuanya—salatnya, puasanya, zikirnya. Tapi tidak ada yang terlalu istimewa. Ia biasa saja, tidak seperti para sahabat yang terkenal dengan amalan luar biasa.

Akhirnya, Abdullah jujur bertanya, 'Wahai saudaraku, Rasulullah mengatakan engkau ahli surga. Tapi aku tidak melihat ada sesuatu yang istimewa dari amalmu. Apa yang engkau lakukan hingga mendapatkan kemuliaan itu?'

Lelaki itu menjawab dengan tenang, 'Seperti yang engkau lihat, aku tidak banyak melakukan sesuatu yang lebih dari kebiasaan orang lain. Tapi setiap malam sebelum aku tidur, aku selalu memaafkan semua orang yang menyakitiku. Aku tidak menyimpan dendam di hatiku kepada siapa pun.'" Sahabatpun tercengang dan melapor kepada baginda Rasulullah. Rasulullah pun mengaminkannnya.

Bu Rani berhenti sejenak, menatap Rafki dan Rianda.

"Nak, lihatlah... surga bukan hanya milik orang yang salatnya paling lama atau puasanya paling sering. Tapi milik orang yang hatinya bersih dari dendam. Yang bisa memaafkan dengan tulus, bahkan tanpa diminta."

Suasana kelas menjadi lebih sunyi. Rafki melirik Rianda sekilas. Rianda membalas dengan lirikan yang sama.

"Saya tahu, kalian berdua sebenarnya anak-anak baik. Tapi ketika hati penuh amarah, kita bisa menyakiti, bahkan kepada teman yang dulunya pernah kita tertawa bersama."

Bu Rani berdiri lagi. "Kalian tahu apa yang terjadi jika kita terus menyimpan dendam?" Tak ada yang menjawab.

"Kita akan menjadi orang yang lelah. Hati kita penuh dengan beban. Semakin hari, bukannya damai, tapi justru semakin merasa tersiksa oleh perasaan sendiri."

Salah satu siswi, Fara, mengangkat tangan. "Bu, tapi bagaimana kalau orang yang menyakiti kita enggak minta maaf?"

"Pertanyaan bagus, Fara," jawab Bu Rani tersenyum. "Maaf itu bukan untuk orang yang menyakiti kita. Maaf itu untuk diri kita sendiri. Supaya hati kita tenang. Karena kalau kita menunggu permintaan maaf, kita bisa menunggu seumur hidup. Tapi kalau kita memilih untuk memaafkan, maka kita yang akan bebas."

Rafki menunduk. Rianda menggigit bibir. Minta maaf memang sulit. Tak ada yang berbicara, tapi suasana seperti telah berubah.

"Rafki, Rianda," kata Bu Rani lembut, "tidak perlu kata-kata besar. Tapi jika kalian ingin memperbaiki semuanya, sekarang adalah waktu yang tepat."

Rafki menarik napas panjang, lalu menoleh ke Rianda. "Maaf ya, Yan."

Rianda terkejut. Tapi kemudian ia mengangguk dan berkata, "Gue juga, Ki. Maaf juga."

Seperti itu, suasana kelas menjadi ringan. Siswa-siswa tersenyum, beberapa ada yang bertepuk tangan pelan. Bu Rani tersenyum puas.

"Hari ini kita belajar satu hal besar: bahwa hati yang lapang lebih berat timbangannya daripada kepala yang penuh hafalan."

Bel berbunyi nyaring menandakan jam pelajaran selesai. Para siswa mulai merapikan buku dan bersiap pulang, tapi suasana kelas masih hangat oleh percakapan pelan. Rafki duduk diam di kursinya, memandangi kotak pensilnya. Rianda mendekat, membawa dua bungkus permen dari sakunya.

"Ki, lo masih suka permen kacang, kan?" tanyanya sambil mengulurkan satu bungkus.

Rafki tersenyum kecil. "Masih. Makasih, Mak."

Mereka saling menatap sebentar, lalu sama-sama tertawa kecil. Seolah kejadian pagi tadi hanyalah kabut tipis yang sudah dihalau sinar matahari. Beberapa teman mereka ikut menyaksikan dan terlihat lega.

Bu Rani yang hendak meninggalkan kelas sempat berhenti di depan pintu. Ia menoleh dan berkata:

"Anak-anak, kalian sudah belajar hal penting hari ini. Di luar sana, orang dewasa pun sering menyimpan dendam, memutuskan hubungan karena hal sepele, dan hidup dalam luka yang dipelihara. Tapi kalian... hari ini kalian memberi contoh bahwa siapa pun bisa memilih untuk memaafkan."

Ia lalu melangkah pergi, meninggalkan kelas yang kini tidak hanya lebih tenang, tapi juga lebih dewasa.

Di lorong sekolah, beberapa siswa lain menyapa Rafki dan Rianda. "Eh, kalian baikan? Mantap!" seru Edo sambil memberi tos. Mereka membalas, agak malu-malu tapi senang. Di balik semua kejadian itu, ada satu hal yang mereka sadari—kadang menjadi kuat bukan berarti membalas, tapi berani melepaskan.

Malam itu, ketika Rafki menatap langit-langit kamarnya sebelum tidur, ia mengingat kembali kata-kata Bu Rani. Ia lalu berdoa dalam hati:

"Ya Allah, aku ingin belajar memaafkan. Kalau hari ini aku masih punya marah pada siapa pun, ajari aku cara melepaskannya. Lapangkan hatiku, seperti lelaki penghuni surga itu."

Dengan doa itu, ia pun memejamkan mata, tersenyum kecil, dan tidur dalam damai. (Yus/*)


Posting Komentar

0 Komentar