Kok Bisa Lupa?
CERPEN, karyamadrasah.com – Kok Bisa Lupa
"Aduh, hari ini ada PR ya?!" seru seorang anak laki-laki yang duduk di bangku kelas 7 SMP.
Namanya Upi. Ia dikenal sebagai anak yang ceria, pintar, tetapi punya satu kelemahan besar: pelupa. Sejak kecil, ia sering lupa membawa buku, lupa mengerjakan tugas, bahkan hal sepele seperti lupa di mana meletakkan sepatu. Setiap pagi, ia berlarian ke seluruh rumah mencari barang yang tertinggal.
“Upi, kamu harus lebih teliti dan bertanggung jawab, Nak,” ujar Bundanya hampir setiap hari, sambil menggeleng.
Nasihat itu sering ia dengar. Ia hanya tersenyum dan berjanji akan berubah. Namun, faktanya selalu saja ada yang terlupa.
Di sekolah, keadaannya tak jauh berbeda. Apip, teman sebangkunya, sering menahan tawa melihat kebiasaan Upi.
"Upi, kamu tuh ya... selalu ada aja yang lupa," kata Apip, tertawa geli.
Fajri dan Putin, dua teman lainnya, juga sering melihat Upi panik mencari barang yang entah di mana. Tapi mereka tetap setia mengingatkannya, sambil sesekali meledek dengan canda.
Suatu hari, Bu Wati, guru fisika mereka, masuk kelas dengan wajah serius.
“Anak-anak, sekarang kumpulkan tugas fisika yang saya beri minggu lalu,” ucapnya.
Jantung Upi langsung mencelos. Wajahnya memucat.
“Upi, tugasnya mana?” bisik Apip, panik.
Upi menggeleng pelan. Fajri melirik dari bangku depan. Putin menyentuh kakinya dari belakang, mencoba menenangkan.
“Santai aja, Pi. Kita cari jalan nanti,” katanya pelan.
Tapi Upi tahu, tidak ada jalan keluar dari ini. Saat namanya dipanggil, langkahnya terasa berat.
“Upi, mana tugasmu?” tanya Bu Wati.
“Maaf, Bu. Saya lupa,” jawabnya pelan.
Bu Wati menghela napas dalam. “Ini bukan pertama kali kamu lupa, Upi. Kamu harus berubah.”
Upi kembali duduk, wajahnya merah karena malu. Apip menepuk bahunya.
“Nggak apa-apa, kita cari cara supaya kamu nggak lupa terus,” ucapnya.
Putin mengangguk. “Bikin alarm, catat di kalender. Kita bantu bareng-bareng.”
Keesokan harinya, suasana kelas mendadak tegang. Bu Wati masuk membawa setumpuk kertas.
“Hari ini ulangan harian fisika,” ucapnya tajam.
Semua terdiam. Upi panik. Ia belum belajar. Apip melirik khawatir.
“Kita belum siap...” bisiknya.
Fajri menoleh, “Kamu nggak belajar, Pi?”
Putin tampak gelisah, “Aduh, ini bakal susah…”
Soal dibagikan. Upi mencoba tenang. Meski deg-degan, ia mulai mengerjakan perlahan. Apip menepuk pundaknya.
“Tenang, yang penting usaha.”
Putin dari belakang ikut menyemangati.
“Fokus aja, Pi. Kita bisa.”
Dengan semangat dari teman-teman, Upi menyelesaikan semua soal.
Beberapa hari kemudian, hasil ulangan diumumkan. Jantung Upi berdebar saat kertasnya dibagikan. Ia menatap nilainya. LULUS! Bahkan nilainya cukup baik!
Apip tersenyum lebar. “Nggak seburuk itu, kan?”
Putin menepuk bahunya. “Kita rayakan, Pi. Tapi tetap belajar lebih giat ya!”
Mereka bertiga tertawa senang.
Sejak hari itu, Upi mulai berubah. Ia membuat catatan pengingat, memakai alarm di HP, dan bahkan membuat jadwal belajar bersama. Ia memang masih pelupa, tapi kini ia berusaha keras untuk tidak menjadikan itu alasan.
Semester itu, Upi mendapat penghargaan dari wali kelas sebagai "Siswa Paling Berusaha dan Paling Banyak Berubah."
Semua teman bersorak. Upi tersenyum lebar—untuk pertama kalinya, bukan karena lupa, tapi karena berhasil. (L/Y/*)
0 Komentar