Breaking News



Langkah Kecil Dara Menuju Dokter

Menuju Impianku, Dokter

Namaku Dara Syafira. Saat ini aku lagi di kamarku. Dari balik jendela rumah kami yang mungil di Padang Panjang, aku suka memandang langit pagi. Kadang langit itu biru terang. Kadang abu-abu diselimuti kabut.
Dara menuju masa depan 

Sambil memutar musik kesukaanku, aku membiarkan semangat menari di dalam dada dan pikiranku.
“Dara, kamu sudah mandi? Jangan cuma bengong di jendela, ya,” panggil Mama dari dapur.
“Sudah, Ma! Ini cuma... menikmati pagi,” jawabku nyengir.
Papa, Pak Alamsyah, sedang duduk membaca koran sambil menyeruput kopi hitamnya.
“Anak Papa ini memang punya dunia sendiri,” katanya sambil melirikku. “Tapi ingat, Dara, dunia itu luas. Ilmu yang kamu pelajari nanti akan jadi bekal utama. Jangan cuma mimpi, harus berani melangkah.”
Aku tersenyum. Papa memang sering bilang begitu. Sejak aku kecil, beliau menanamkan bahwa warisan terbaik bagi anak adalah ilmu, bukan harta.
Mama, Bu Intan, tak kalah luar biasa. Meski mengurus rumah dan jualan kue-kue kecil di depan rumah, Mama selalu sempat mendengarkan ceritaku. Senang sekali didengar orangtua.
“Mau jadi dokter itu bagus, Dara. Tapi kamu harus siap dengan perjuangan panjang,” katanya suatu sore ketika aku bilang ingin menjadi dokter.
“Iya, Ma. Dara siap. Dara pengen bantu orang-orang, bukan cuma karena seragam putihnya keren,” jawabku sambil memeluk beliau.
Aku anak bungsu dari empat bersaudara. Kakak-kakakku sudah punya jalan masing-masing dan mereka selalu bilang, “Dara itu anak emas,” mungkin karena aku paling banyak dapat perhatian.

Tapi aku tahu, perhatian itu bukan kemewahan. Itu tanggung jawab.
Aku sekolah mulai di TK Bintang Harapan, lalu lanjut ke SDN 4 Bukit Surungan. Di sana, aku punya banyak teman. Ada Rino si jago gambar, Salsa si cerewet, dan Fadil yang hobinya main bola.
“Dara, kamu kalau besar mau jadi apa?” tanya Salsa saat istirahat kelas 3 dulu.
“Dokter,” jawabku tanpa ragu.
“Biar bisa suntik-suntik?” canda Fadil.
“Biar bisa bantu orang,” balasku, dan mereka semua diam.
Waktu berlalu, aku masuk MTsN 1 Padang Panjang. Di sinilah aku mulai memahami banyak hal tentang hidup. Guru-gurunya menginspirasi. Teman-temannya suportif. Ada satu guruku, Bu Arifah namanya, beliau selalu bilang, “Kalau kamu punya niat baik dan mau belajar, jalanmu pasti dibuka oleh Allah.”
Aku simpan kata-katanya dalam hati. Sekarang aku duduk di kelas 9I. Aku sedang menyiapkan diri masuk SMA 1 Padang Panjang. Reputasinya bagus, dan banyak alumni sukses. Aku ingin jadi bagian dari mereka.
“Doakan aku, Ma, Pa. Dara mau masuk SMA 1. Dara pengen serius belajar buat ke FK UI,” kataku malam itu sambil menunjukkan brosur kampus impian.
Papa hanya tersenyum dan menjawab pelan, “Jalanmu mungkin panjang, tapi semangatmu lebih panjang. Bismillah.”
Aku juga punya impian kecil: sebelum jadi dokter, aku mau punya usaha kecil. Jualan online mungkin, atau bikin kue bareng Mama.
“Dara, kamu ini masih sekolah, udah mikirin bisnis?” celetuk kakakku yang paling tua.
Aku tertawa, “Biar berani menghadapi dunia, Kak.”
Satu impianku yang lebih dalam adalah menghafal minimal 10 juz Al-Qur’an sebelum usia 25. Aku ingin punya hati yang tenang di tengah dunia yang gaduh. Saat aku 28 tahun, aku ingin menunaikan haji bersama Mama dan Papaku.
Tentang menikah? Aku tak tergesa. “Kalau nanti menikah, Dara pengen sama yang bisa bimbing ke surga,” kataku sambil bercanda dengan sahabatku, Rina.
“Wah, tinggi banget kriterianya,” balas Rina.
“Namanya juga mimpi. Harus tinggi,” kataku, dan kami tertawa.
Di usia 25 nanti, aku ingin punya rumah kecil, taman hijau, mobil keluarga. Tapi lebih dari semua itu, aku ingin hidup yang sederhana, damai, dan penuh syukur.
Kelak, aku ingin membangun yayasan. Tempat anak-anak yatim belajar dan tumbuh. Aku ingin negeri ini punya masa depan yang lebih cerah, dan aku ingin ambil bagian, sekecil apa pun itu. Kalau nanti waktuku tiba, aku ingin meninggal dalam keadaan suci, di pagi Jum’at, saat dunia masih sunyi. *** Aku memang baru remaja. Tapi setiap langkah kecilku hari ini adalah bekal. Bekal untuk hari esok yang penuh harap.Jika suatu saat mimpiku tercapai, aku ingin berkata, “Semua ini berawal dari mimpi yang tak pernah aku biarkan mati.”

Tips menulis peta konsep hidup

Allah itu Maha Pengasih. Maha mengabulkan. Ketika kamu menulis impianmu, kamu harus fokus agar Allah pun fokus pada impianmu.

Kedua, tuliskan impianmu meski itu sangat waw.... karena Allah juga Maha Besar, wawww. Ia akan berbuat sesuai pikiran hambaNya. Maka berpikiran positiflah kepada Allah.

Ketiga, tuliskan semua impianmu dengan bahasa lugas (apa adanya) sebab bahasa lugas dan apa adanya itu mengalir laksana air. Enak dibaca.

Gunakan kalimat pendek-pendek biar pembaca sehat selalu saat membaca tulisanmu. Tahu mengapa berita kurang menarik bagi anak-anak? Karena berita disajikan dalam kalimat panjang-panjang. (Yus)*

Posting Komentar

0 Komentar